Jumat, 11 Desember 2009

Konsumen Bakal Tanggung Pajak Industri Penerbangan US$ 96 Juta Tahun Depan

Indonesia National Air Carriers Association (Inaca) tengah berhadapan dengan buah simalakama. Itu setelah Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Menurut Ketua Umum Inaca Emirsyah Satar, ketentuan yang memberatkan industri penerbangan adalah kewajiban membayar with holding tax sewa pesawat udara (leasing) sebesar 20% terhitung mulai 1 Januari 2010.

Direktur Utama PT Garuda Indonesia Airline tersebut menghitung, sedikitnya US$ 96 juta harus dikeluarkan oleh seluruh maskapai penerbangan di Indonesia ketika peraturan itu berlaku nanti. Saat ini, beroperasi 500-an pesawat milik maskapai Indonesia. Nah, sekitar 80% dari seluruh pesawat yang beroperasi berstatus sewa.

"Katakanlah jumlah pesawat sewa sebanyak 400 unit, untuk mengetahui kewajiban pajaknya tinggal dikalikan ongkos sewa rata-rata pesawat termurah US$ 100.000 per bulan. Maka akan muncul angka US$ 40 juta. Sebanyak 20% dari angka tersebut adalah US$ 8 juta, nah dikalikan 12 bulan maka muncul kewajiban minimal US$ 96 juta per tahun hanya untuk membayar pajak sewa pesawat," kata Emir, Rabu (9/12) malam.

Menurut Emir, jumlah kewajiban pajak untuk masing-masing maskapai tentu saja tergantung dari jumlah dan jenis pesawat sewa yang mereka operasikan di Indonesia. Semakin besar kapasitas dan kecanggihan pesawat, otomatis ongkos sewa dari leasor akan semakin tinggi.

Ia menyebut contoh lain sewa pesawat Boeing 737-400 yang biasanya per bulan US$ 150.000, maka dengan aturan baru tersebut ongkos sewanya bisa meningkat jadi US$ 180.000 per bulan.

"Leasing cost kami menjadi meningkat, padahal leasing cost porsinya cukup signifikan dari komponen operasional maskapai penerbangan. Kalau peraturan ini tetap juga diterapkan, mau tidak mau maskapai akan membebankannya ke dalam tarif penerbangan konsumen. Jelas ini akan menimbulkan resiko lain juga, karena daya saing kami jadi turun dengan harga tiket yang tinggi," keluhnya.

Menurut Emir, aturan pajak sewa pesawat baru dijumpainya di Indonesia. Di luar negeri, praktek yang terjadi adalah perusahaan penyewaan pesawat mendaftarkan pesawat yang dimilikinya sebagai special purpose vehicle (SPV), sehingga mendapat perlakuan khusus perpajakan. Yang ujungnya neraca keuangan perusahaan tidak terganggu. "Tapi di Indonesia SPV yang dikenai pajak definisinya tidak jelas. Sehingga semuanya dikenakan pajak," kata Emir. (Kontan-online.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar