Jumat, 27 November 2009

Kisah Bouraq airlines

Airlines swasta dengan warna khas hijau toska ini telah melalui rintangan dan perjuangan panjang bertahun-tahun dengan menuai berbagi reputasi dan prestasi. Pernah menjadi airlines swasta yang diperhitungkan dengan on-time performance penerbangan domestik terbaik, tapi toh disaat akhir nasib berkata lain.

Berdiri berkat keinginan gigih dan kejelian bisnis putra Menado, Jerry Albert Sumendap untuk menghubungkan wilayah Kalimantan yang masih terisolir lewat udara. Meskipun jalur sungai dan laut cukup baik, berbeda sekali dengan keadaan transportasi udara dan darat di Kalimantan khususnya Balikpapan dan Tarakan sangat buruk pada tahun 1968. Padahal eksplorasi tambang minyak dan kayu sedang booming luar biasa. Untuk itulah Bouraq hadir untuk mengisi peran yang ditinggalkan Garuda yang telah menghentikan rute domestik di Kalimantan demi melayani penerbangan rute ke luar negeri.
Bulan April 1969, dimulai langkah-langkah membuka jaringan udara yang penuh tantangan di Kalimantan. Bermodalkan tiga unit DC-3 beregistrasi PK-IBA, PK-IBI dan PK-IBS, Bouraq Indonesia Airlines mengudara mulai tanggal 1 April 1970. Tanggal inilah yang ditetapkan sebagai hari kelahiran Bouraq yang beroperasi di lapangan terbang rumput di Balikpapan. Nama Bouraq sendiri diambil dari kendaraan Nabi Muhammad SAW saat peristiwa Isra Miraj, diharapkan airlines ini menjadi yang tercepat baik perkembangan perusahaannya maupun ketepatan waktu pesawat yang dioperasikannya.

Niat utama mendirikan Bouraq bukanlah sebagai airlines berjadwal ataupun penerbangan carter tetapi untuk mempermudah mengantar karyawan perusahaan perkayuan PT Pordisa yang juga dimiliki Jerry Sumendap ke wilayah pedalaman Kalimantan. Nasib memang berkata lain, PT Pordisa gulung tikar malah Bouraq yang tumbuh maju bahkan sampai mendirikan sister company Bali Air tahun 1972 yang mengurusi penerbangan charter dan feederlines sementara Bouraq lebih melayani rute penerbangan berjadwal yang mulai dirambah kemudian. Selain Bali Air, Bouraq juga melahirkan anak perusahaan Bouraq Naltor yang bergerak dibidang konstruksi dan turut serta dalam pembangunan landasan Sam Ratulangi, Menado tahun 1976 serta pelaksanaan overlay dan paving landasan bandara Ngurah Rai, Bali untuk pesawat wide body setahun kemudian.

Penerbangan Berjadwal
Setelah melalui persiapan matang, tahun 1980-an merupakan era penerbangan berjadwal bagi Bouraq dengan menggunakan base di Jakarta dan Balikpapan serta Denpasar untuk Bali Air. Mengandalkan pesawat turboprop empat mesin Vickers Viscount (tipe VC-812 dan VC-843) sebanyak empat unit, 16 unit double turboprop Hawker Siddley HS-748 (tipe 2A dan 2B) dan tiga unit Casa/ IPTN NC-212 Aviocar untuk menjangkau pelosok pedalaman Kalimantan. Sementara Bali Air sendiri mengoperasikan dua unit Britten Norman BN-2A Islander dan empat unit Trislander untuk melaksanakan tugas rute jarak pendek, feeder, charter, dan juga perintis.

Tahun 1990-an, Bouraq berhasil menempatkan dirinya sebagai perusahaan penerbangan swasta dengan on-time performance terbaik untuk penerbangan domestik. Walau demikian muncul juga tuduhan miring “perusahaan penerbangan dengan mengandalkan armada pesawat tua (baca : pesawat non-jet)” santer terdengar. Untuk itulah Bouraq menjawab dengan mendatangkan pesawat jet dari tipe Boeing B737-200 untuk meningkatkan kualitas pelayanan, peremajaan pesawat, dan memenuhi pertumbuhan bisnis yang tumbuh cukup signifikan.

Dengan dana sekitar 70 juta dollar, Dirut Jerry Sumendap menyewa tujuh unit B737-200 bekas pakai Malaysia Air System (MAS) yang rata-rata berusia 10 tahun. Masuknya pesawat jet ini berarti menambah kuantitas armada menjadi 30 unit. Untuk mengoperasikan seluruh armada dipercayakan kepada 100 awak pilot/kopilot. Unik dan jarang ada di airlines Indonesia karena tiga diantaranya adalah penerbang perempuan yaitu Meriam Zanaria, Lokawati Nakagawa, dan Cipluk. Tanggal 11 Februari 1993, B737-200 pertama beregistrasi PK-IJD datang dan tiga hari kemudian melakukan terbang perdana jalur penerbangan Jakarta-Surabaya-Balikpapan p.p.

Babak Baru
Tanggal 6 Juni 1995, sang pendiri Jerry Sumendap wafat dalam umur 69 tahun maka dimulailah babak baru bagi Bouraq. Sang pengganti yang tak lain adalah putranya yaitu Danny Sumendap mulai mengambil alih management akhir tahun 1995. Mempertahankan ternyata lebih sulit daripada mendirikan begitu kata orang, sangat dirasakan Danny Sumendap. Tantangan jauh lebih sulit karena berhadapan dengan orang-orang lama yang dianggap sebagai penghalang dan masalah bagi kemajuan Bouraq oleh karena itu “pengobatan” satu-satunya adalah melakukan pembongkaran susunan manajemen. Organisasi menjadi lebih simpel dengan menekankan empat direktorat utama yaitu operasi, komersial, keuangan, dan general affairs/SDM.

Meskipun berhasil membenahi manajemen ternyata Bouraq harus menghadapi tantangan berikut yang tak diduga. Badai krismon 1998 mulai menggerogoti bisnis di Indonesia tak terkecuali airlines yang padat modal dan berorientasi dollar dalam pembiayaannya. Resep efisiensi terpaksa dilakukan mulai dari mengurangi armada pesawat, negoisasai ulang dengan pemilik pesawat dan mitra kerja sampai mengurangi jumlah karyawan alias PHK. Benar-benar hadiah dan pukulan berat bagi airlines saat usianya mau menginjak umur 30 tahun.

Iklan Bouraq - (dari kiri ke kanan) Promo "30 Tahun Bouraq Airlines" ; Promo memperkenalkan armada MD-82.

Tentu saja keputusan efisiensi besar-besaran ini mendapatkan tentangan hebat. Mengurangi armada jelas akan mengurangi pula pemasukan. Demikian juga negosiasi ulang mengakibatkan lunturnya kepercayaan. Terakhir keputusan PHK dan pensiun dini sangat menyakitkan setiap karyawan baik crew darat dan udara yang pada saat kepemimpinan Jerry Sumendap sangat dekat dan memperhatikan kesejahteraan karyawan bak ayah dengan anak.

Kekuatan armada yang masih aktif menyusut dari sembilan HS-748 dan sembilan B737-200 menjadi lima unit B737-200 saja. Pilot/kopilot disesuaikan dengan kebutuhan pesawat sehingga menjadi 30 Captain dan 24 kopilot. Kantor perwakilan dikurangi dari 26 menjadi 9 perwakilan, belum lagi diisi hanya tigaperempat personel, karena penyusutan jumlah karyawan dari 1700 menjadi 700 orang. Alhasil demo karyawan eks Bouraq tak terhindarkan karena PHK yang dianggap sepihak dan tidak adil. Karyawan yang masih bekerja lambat laun pergi akibat beban kerja dan tawaran kerja yang lebih baik di perusahaan lain. Bouraq bagaikan kapal karam yang tak tertolong lagi. Armada lagi-lagi menyusut meskipun sempat mengoperasikan pesawat tambahan McDonnell Douglas MD-82 (PK-IME, PK-IMD, dan PK-IMC) tahun 2002 untuk menemani empat B737-200 yang masih ada.

Kembali jumlah amada kembali menyusut dan akhirnya tertinggal hanya sebuah B737-200. Benar-benar menyedihkan akhir dari Bouraq Airlines yang dulu saat masih jaya sempat memiliki puluhan pesawat. Management memutuskan untuk melakukan penghentian operasi penerbangan sementara yang dilakukan mulai tanggal 25 Juli 2005.

Nasib Bouraq
Saat ada komentar bahwa Bouraq akan senasib dengan Sempati maupun airline baru seperti Star Air, tak urung Menteri Perhubungan saat itu menyatakan isu ini tak udah dibesar-besarkan. Kenapa ? Karena ya itu, mengingat Bouraq bukanlah perusahaan penerbangan kemarin sore dan telah kenyang makan asam garam serta keyakinan akan bangkit seperti semula.

Tapi harapan lagi-lagi jauh api dari panggangan, Bouraq benar-benar tidak bisa bangkit, usaha mencari investor lagi-lagi gagal akibat keuangan yang tidak sehat dan hutang melilit khususnya penggajian bekas karyawannya. Setelah berlarut-larut akhirnya Bouraq pun kehilangan ijin terbang karena tidak memenuhi persyaratan deregulasi baru yang ditetapkan.
Meskipun finansial dianggap pailit, management Bouraq belum secara resmi menyatakan bangkrut. Akankah Bouraq bangkit dan berkibar seperti dulu ? Waktu yang akan menjawab itu semua.(Sudiro Sumbodo, 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar