Senin, 22 Februari 2010

Green Aviation Indonesia



Cita-cita mulia demi mewujudkan industri penerbangan yang tidak tergantung pada bahan bakar fosil bukan perkara mudah. Tapi dengan kerja keras hal ini dapat terwujud dimasa depan. Bagaimana dengan industri penerbangan di Indonesia ?

Industri penerbangan menggunakan derivatif hasil dari penyulingan minyak bumi berupa Jet-A atau yang lebih dikenal sebagai avigas/avtur buat bahan bakar pesawat terbang. Pertamina Aviation, anak perusahaan dari Pertamina menjadi satu-satunya pihak yang bertanggung jawab dalam pengadaan avtur di Indonesia. Tahun 2008 industri penerbangan, tidak terkecuali penerbangan nasional mendapat pukulan hebat saat krisis minyak dunia.

Saat krisis, harga minyak melambung melampaui rekor mencapai angka diatas $100 lebih per liter. Di Indonesia perkembangan harga avtur dari Pertamina Aviation bergantung kepada harga minyak dunia dan kurs US Dollar terhadap rupiah plus biaya lain seperti PPN, biaya transport, dan margin keuntungan.
Kisaran harga bulan Mei-April 2008 menunjukan variasi puncak harga bahan bakar di bandara-bandara wilayah Indonesia sebesar Rp.9,548-10,219 per liter. Padahal sebuah pesawat narrow body sekelas Boeing 737 membutuhkan setidaknya 18,000-20,000 liter sekali terbang.

Kebijakan fuel surcharge yang ditetapkan Departemen Perhubungan (Dephub) hanya sekedar “gali lubang tutup lubang” mengingat harga tiket yang ditetapkan maskapai adalah harga sebelum kenaikan harga minyak, tidak terlalu banyak berpengaruh menyelesaikan masalah. Beruntung situasi mulai pulih akhir tahun 2008 dan awal tahun 2009. Beruntung pula tidak ada maskapai nasional yang gulung tikar, padahal di dunia sudah banyak maskapai yang kolaps.

Bahan Bakar Alternatif

Menghadapi ketergantungan terhadap minyak bumi, pemerintah, maskapai, pabrik pesawat, lembaga riset bahkan dari perusahaan minyak telah bekerjasama membuat bahan bakar alternatif. IATA (International Air Transport Association) mensyaratkan bahwa bahan bakar pengganti avtur harus berkualitas sama (atau bahkan lebih) dan dengan pemakaian sama praktisnya dimana tidak perlu sampai mengubah rancangan pesawat atau tempat penyimpanan bahan bakar.

Gas alam menjadi solusi. Produk GTL (Gas To Liquid) buatan Shell sudah diujicoba walaupun masih berupa campuran 40-60 dengan avtur pada tes salah satu mesin Airbus A380 Super Jumbo awal tahun 2008 dan campuran 50-50 pada penerbangan Airbus A340 maskapai Qatar selama 6 jam, dari London ke Doha, bulan Februari setahun kemudian.
Siklus Biofuel

Siklus Biofuel – Tanaman biofuel menghasilkan hidrokarbon (A) dipanen lalu oleh pabrik penyulingan dihasilkan bahan bakar biofuel (B). Biofuel dipakai buat pesawat terbang (C) yang menghasilkan hasil pembakaran berupa CO2. CO2 (plus air) dengan bantuan matahari diproses secara fotosintesis oleh tanaman biofuel yang menghasilkan hidrokarbon (D). Siklus kembali berputar.

Solusi lainnya adalah biofuel atau bahan bakar dari tanaman. Bukan hal yang baru apalagi saat penjajahan Jepang dulu, rakyat Indonesia dipaksa menanam jarak di pekarangan rumah yang diproses menjadi bahan bakar pesawat terbang buat kepentingan perang. Sekarang jarak (jatropha) diujicoba pada Boeing 767 Air New Zealand akhir Desember 2008.
Selain itu, tanggal 8 Januari 2009 Continental Airlines dengan pesawat Boeing 737-800 menguji terbang biofuel yang berasal dari kombinasi algae (ganggang) dan jarak. Maskapai yang baru-baru ini menyatakan bangkrut, Japan Airlines (JAL) sempat menguji coba biofuel campuran tanaman camelina (sebangsa rerumputan), algae, dan jarak pada salah satu mesin Boeing 747 akhir Januari 2008.

Seluruh pengujian ini sama-sama mendapatkan hasil yang baik, emisi polusi rendah, tanpa perlu modifikasi apapun dengan performa mesin tidak berpengaruh. Uji coba memang belum memakai 100% biofuel tapi hanya 50-50 dengan campuran avtur. Tapi ini membuktikan kepraktisan. Sebuah pesawat yang terbang menggunakan avtur tidak perlu repot membuang/menguras tangki bahan bakarnya jika bandara tujuan hanya menyediakan biofuel atau sebaliknya.

Industri Penerbangan Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia ? Meskipun Pertamina bekerja sama dengan swasta telah membuat proyek pembuatan bahan bakar alternatif seperti pengolahan etanol menjadi DimethylEter (DME), hanya ditujukan sebagai bahan bakar kendaraan dan kebutuhan rumah tangga. Belum ada satupun realisasi buat sektor industri penerbangan.

Padahal kebutuhan bahan bakar di sektor transportasi udara sangat besar seiring dengan peningkatan pemakai jasa udara baik penerbangan domestik maupun internasional. Angka dari INACA (Indonesia National Air Carrier) menunjukan perkiraan peningkatan jumlah penumpang sebesar 9% tahun ini.
Tahun lalu saja anggota INACA mengangkut total 37.5 juta penumpang. Angka dari Dephub tidak terlalu jauh berbeda, kenaikan 10% dengan rincian 43.5 juta penumpang domestik dan 4.95 juta penumpang internasional tahun 2009. Situasi baru saja pulih dari krisis minyak tapi ini bisa saja kembali goncang jika krisis kembali terjadi. Pertamina lewat Pertamina Aviation seyogyanya bisa memulai aplikasi bahan bakar alternatif buat industri penerbangan nasional.

Sebenarnya apa yang kurang dari Indonesia ? Kaya akan gas alam dan tanah yang subur buat pertanian penghasil biofuel. Pertamina bisa mencontoh Shell dengan membuat GTL yang disuling pada kilang Shell di Malaysia. Diakui pembuatan GTL dengan metode Fischer Tropsceh bukan sesuatu yang mudah dan butuh investasi besar tapi ini bisa dimulai dengan kerjasama saling menguntungkan antar dua perusahaan.

Kerjasama antar perusahaan dalam negeri juga perlu dilakukan seperti Pertamina Aviation dengan maskapai milik pemerintah Garuda Indonesia misalnya. Maskapai Virgin Atlantic patut dijadikan contoh pula bahwa maskapai bisa menjadi pionir dalam pengembangan bahan bakar alternatif.
Pemilik dan pendiri Virgin Atlantic, Sir Richard Branson bahkan mendirikan perusahaan baru yaitu Virgin Fuel, membuat bahan bakar dari minyak babassu, tanaman masih berfamili kelapa yang banyak tumbuh di Brazil. Walaupun hanya berkomposisi 20% dengan dicampur avtur tapi sukses pada uji coba penerbangan Boeing 747 miliknya awal tahun 2008.

Jangan lupa melibatkan pihak kampus. IPB sebagai kampus yang berbasis pertanian dapat meriset lebih lanjut pemanfaatan tanaman lain, tidak sebatas jarak dan minyak kelapa karena setiap tanaman secara garis besar dapat menghasilkan hidrokarbon. Tidak ketinggalan peran kampus berbasis teknologi seperti ITB, ITS, dan perusahaan berbasis teknologi penerbangan seperti PT. Dirgantara Indonesia yang bisa membuat alat pengolah biofuel sekaligus membantu kelayakan penerapan bahan bakar alternatif buat pesawat terbang.

Bayangkan peran serta yang terjalin jika dapat terwujud. Betapa keuntungan akan melibatkan industri yang lain mulai dari pertanian, penyulingan, distribusi, transportasi, dan banyak lainnya. Bahkan belum terwujud sekalipun hal ini telah mendapat tentangan. Yang kontra menyatakan proses produksi bahan bakar alternatif justu lebih merusak lingkungan hidup. Seperti pembukaan hutan buat ditanami tanaman biofuel.

Yang pro justru membela bahwa ini baru tahap awal buat pengembangan selanjutnya menjadi lebih baik. Alga misalnya bisa menjadi pengembangan lebih lanjut karena tidak tergantung kepada tanah pertanian melainkan bisa memanfaatkan perairan.
Kiprah British Airways (BA) baru-baru ini bisa ditiru dengan memanfaatkan biomassa yang berasal dari sampah. Menurut rencana, fasilitas pengolahan biomassa milik BA dan investor asal Amerika, Solena Group akan menghasilkan 16 juta galon bahan bakar low carbon dari 500,000 ton limbah sampah organik dan makanan. Belum ada informasi lebih lanjut karena diperkirakan baru akan diproduksi tahun 2014.

Pengembangan bahan bakar pengganti avtur masih melalui jalan panjang tapi harus dimulai segera dan belum terlambat. Seandainya ini dapat terwujud bahan bakar alternatif dapat menjadi simbol kemandirian bangsa Indonesia dan membangun bukan hanya sekedar industri penerbangan melainkan sebuah impian industri penerbangan yang bertumpu dan ramah terhadap lingkungan sebagai perwujudan dari cita-cita green aviation. (Sudiro Sumbodo, Jakarta, 2010)

Referensi :

  1. Air & Space, “Fly Green”, September 2007.
  2. Kontan, “Sebelas Maskapai Siap Terbangi Langit Indonesia”, 18 Februari 2010.
  3. Suryo Suprojo, Cucuk, makalah seminar PII BKT, “Pengaruh Kenaikan Harga Bahan Bakar Pesawat Udara Terhadap Perkembangan Transportasi Udara Di Indonesia”, Jakarta, 19 Mei 2008.

Internet :

  1. www.cleantech.com, “British Airways to Power Aircraft From Waste Biomass”, 17 Februari 2010.
  2. www.earth2tech.com, “Green Aviation: It’s All About Biofuels, But Get Ready to Wait”, 8 September 2009.
  3. www.iata.org, “Fact Sheet : Alternative Fuels”, Februari 2010.
  4. www.pertamina.com, “DimethylEter Sebagai Bahan Bakar Alternatif”, 2009.
  5. www.wikipedia.org, “Aviation Bio Fuel”, 19 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar